Cari Blog

Senin, 04 April 2011

Kemiskinan Dalam Pandangan al-Qur'an


A. Prolog
Sebuah hasil survei yang dipublikasikan oleh Sam Mountford (Direktur Riset GlobeScan) melalui BBC pada 17 Januari 2010 menempatkan kemiskinan sebagai masalah paling serius yang dihadapi masyarakat dunia dibanding masalah perubahan iklim, teorisme, dan perang. Prosentase survei adalah sebagai berikut: kemiskinan ekstrim 71 %, lingkungan 64 %, meningkatnya harga pangan dan energi 63%, terorisme dan HAM serta penyebaran penyakit 59%, masalah ekonomi dunia 58%, perang 57%. Penelitian dilakukan  terhadap 25 ribu orang lebih di 23 negara.[1]
Dalam konteks Indonesia, kemiskinan juga masih merupakan problem nasional yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data terbaru yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), terlepas dari perdebatan mengenai validitasnya, jumlah penduduk  miskin di Indonesia sampai bulan maret 2010 adalah 31,02 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah total penduduk. Dari jumlah itu penyebaran penduduk miskin masih terkonsentrasi di desa. Penduduk miskin di kota berjumlah 11,10 juta orang , kontras dengan jumlah mereka di desa yang mencapai  19,93 juta orang atau 64,23 persen. Sejalan dengan fakta itu maka dapat dipahami, jika dari sisi profesi, penduduk miskin masih terkonsentrasi di sektor pertanian yakni sebesar 64,65 persen.[2]
Kemiskinan merupakan problem sosial yang berdampak sistemik bagi kehidupan masyarakat. Kemiskinan secara otomatis menurunkan problem-problem lain yang lebih kompleks menyangkut keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Fakta nyata di lapangan, baik dalam konteks global maupun lokal, mengenai efek kemiskinan menjadi bukti tak terbantahkan yang mungkin saja melatarbelakangi hasil survei di atas. Gencarnya aksi-aksi terorisme akhir-akhir ini di berbagai belahan dunia tidak begitu saja menutup mata peserta survei. Ternyata dalam persepsi mereka kemiskinan merupakan ancaman yang paling serius dibanding problem lainnya.
Kedua hasil survei di atas menggoda penulis untuk kembali mencermati problem kemiskinan dengan merujuk kepada sumber utama Islam, al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an berpretensi dalam ungkapan salah satu ayatnya: “Sesungguhnya al-Qur’an ini menunjukkan kepada sistem yang paling lurus”. Tentu untuk membuktikan klaim ayat ini perlu dilakukan kajian komprehensip mengenai topik kemiskinan dalam al-Qur’an, dan bagaimana implementasinya dalam rentang sejarah Islam yang paling awal. Penelitian ini berupaya memahami bagaimana al-Qur’an memandang dan mengatasi kemiskinan. Penelitian dibatasi hanya pada terma-terma yang berkaitan dengan kemiskinan dengan mempertimbangkan konteks internal (munasabah) dan konteks eksternal (asbab al-nuzul) ayat. Penulis juga berusaha melakukan kontekstualisasi dengan fakta kondisi ekonomi global dan lokal sebagaimana sebagiannya tercermin dalam hasil survei tadi.
   
B. Kemiskinan: Pengertian, Sebab, dan Corak
Ada dua istilah yang sangat dikenal berkaitan dengan kemiskinan, yaitu fakir dan miskin. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai tidak berharta benda; serba kekurangan; berpenghasilan rendah. Sedangkan kata “fakir” diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin.[3] Dari bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedang faqir dari kata fqr yang pada mulanya berarti tulang punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggunggnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya terlalu berat sehingga mematahkan tulang punggungnya.[4] Imam Syafi’i memberikan pengertian lebih jelas dalam membedakan fakir dan miskin. Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta yang mencukupi kehidupannya dan tidak memiliki mata pencaharian. Sedangkan miskin adalah orang yang memiliki harta dan mata pencaharian tapi tidak mencukupi.[5] Dengan berdasar pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup, baik karena tidak memiliki harta dan mata pencaharian sekaligus, maupun karena harta dan mata pencaharian yang tidak mencukupi.
Ulama berbeda pendapat mengenai tolak ukur kemiskinan dan kefakiran. Ada yang mengatakan fakir lebih sulit keadaannya dari pada miskin, dan justru ada yang mengatakan sebaliknya. Penulis sepakat dengan pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia   di atas, sebagaimana pula dianut oleh Ibn Manzhur[6] dan dipertegas oleh definisi al-Syafi’i di atas. Namun yang pasti, Al-Qur’an menjadikan setiap orang yang berkekurangan dan memerlukan pemenuhan kebutuhannya sebagai fakir atau miskin yang harus dibantu.
Ragam kemiskinan ditentukan oleh sebab yang melatari kemiskinan tersebut. Kemiskinan yang disebabkan oleh diri si miskin sendiri, misalkan dikarenakan  dia malas dan tidak kreatif, disebut kemiskinan kultural. Corak kemiskinan ini bisa juga disematkan kepada suatu negara ketika pejabat, birokrat, dan rakyatnya malas dan tidak kreatif. Kemiskinan bisa juga disebabkan oleh struktur sosial dan politik, yaitu kemiskinan yang terjadi karena sistem yang dibentuk oleh struktur sosial dan politis mengakibatkan merebaknya kemiskinan. Jenis kemiskinan ini disebut kemiskinan struktural. Corak lain dari kemiskinan adalah kemiskinan natural, yaitu kemiskinan yang disebabkan kekurangan fisik dan kondisi sumber daya yang tersedia.[7]
Mengatasi  kemiskinan sudah seharusnya dilihat dari sudut pandang tiga ragam kemiskinan tadi yang dilatarbelakangi oleh sebab yang berbeda. Bukan hanya  kaum miskin yang disoroti dan disalahkan, seperti yang dianut al-Dulji[8] dan kesan pembahasan Pak Quraisy Shihab[9], yang sebenarnya adalah mazhab kaum kapitalis. Dengan demikian, upaya yang ditempuh harus komprehensip meliputi tiga corak tadi. 

C. Kemiskinan dalam Al-Qur’an
Istilah Kemiskinan dalam Al-Qur’an
            Penulusuran terhadap al-Qur’an menunjukkan ada delapan kata yang berkenaan dengan makna kemiskinan. Istilah-istilah tersebut adalah مسكين, فـقـير , إملاق , سائل, محروم , قانع  , معـتر  ,  بائـس .
            Kata مسكين dengan berbagai derivasinya disebut dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali.[10] Kata فـقـير beserta turunannya terulang sebanyak 13 kali.[11] Kata إملاق  dan محروم masing-masing tercatat sebanyak 2 kali.[12] Kata سائل dengan ragamnya terulang 4 kali.[13] Dan terakhir kata قانع  , معـتر  , dan  بائـس  masing-masing disebutkan sekali saja.[14]
             
Topik-topik Pembicaraan Al-Qur’an Tentang Kemiskinan
            Penelusuran terhadap konteks-konteks ayat yang meliputi kedelapan kata di atas diperoleh beberapa topik yang menjadi latar belakang pembicaraan al-Qur’an tentang kemiskinan. Memperhatikan topik-topik itu akan sangat membantu dalam memahami pandangan al-Qur’an terhadap kemiskinan secara komprehensip. Berikut beberapa topik yang dapat penulis pahami:

1. Reward  dan punishment sebagai motivasi
            Al-Qur’an dalam beberapa ayat menjelaskan kemiskinan dalam konteks imbalan dan konteks hukuman. Konteks yang pertama berkenaan dengan orang-orang yang peduli terhadap kemiskinan. Sebaliknya, konteks yang kedua berkenaan dengan orang-orang yang tidak peduli.  Berkaitan dengan konteks imbalan, al-Qur’an menerangkan bahwa orang yang peduli terhadap problem kemiskinan akan memperoleh keuntungan duniawi dan ukhrawi. Di dunia, dia akan memperoleh lompatan kualitas iman yang tinggi, sehingga dia berhak mendapat predikat sebagai orang yang bertaqwa (al-muttqun), orang yang sukses (al-muflihun), dan orang-orang yang gemar berbuat baik (al-abrar). Namun kepedulian itu harus berangkat dari kejujuran iman dan ketulusan. Bukan karena kepentingan pribadi atau kelompok yang menyebabkan kepedulian hanya bersifat temporer. Di samping itu, kepeduliannya beserta beberapa amal shalih lainnya[15] menghadirkan jaminan Allah   untuk terhindar dari hidup yang penuh kegelisahan. Adapun di akhirat, orang yang memiliki kepedulian sosial akan memperoleh jaminan kemulian dari Allah dengan penghormatan dan surga yang penuh nikmat.[16]
            Ketenangan hidup dan terhindar dari kegelisahan merupakan impian siapa pun di dunia ini. Apalagi itu kemudian diiringi oleh ketenangan dan kemulian di akhirat. Dan semua itu mendapat momentum yang tepat di era kita sekarang ini, era alienasi masal umat manusia dan era krisis ekonomi. Al-Qur’an memberi harapan dengan menginformasikan bahwa itu bisa dicapai dengan membangun diri menjadi pribadi yang memiliki kepedulian sosial. Namun bukan sembarang kepedulian, tapi kepedulian yang berbasis ketulusan yang tidak mengharap pamrih kecuali apresiasi Tuhan.
            Dalam konteks hukuman, al-Qur’an memaparkan sanksi duniawi dan ukhrawi bagi orang yang tidak memiliki kepedulian sosial, termasuk kemiskinan. Ketidakpedulian yang dimaksud al-Qur’an tidak hanya sebatas tidak memberi, karena tidak semua orang memiliki harta yang cukup untuk memberi. Tapi, ketidakpedulian yang dimaksud lebih mendasar lagi, yakni tidak memberikan dorongan untuk memberi atau peduli( ولايحـضّ، ولاتحاضون). Dengan demikian, siapa pun memungkinkan untuk ikut serta memberikan andil dalam mengatasi kemiskinan. Hukuman duniawi bagi orang yang tidak peduli terhadap kemiskinan adalah terhalang untuk mencapai kualitas spiritual yang tinggi. Meskipun dia mengaku beragama, tapi Tuhan menjulukinya sebagai pendusta agama. Dia tidak perlu berbangga dengan kualitas ibadah vertilkalnya (‘ibadah mahdhah) sehebat apapun kualitas itu dapat diraih, jika tidak disertai kualitas ibadah horizontalnya (‘ibadah ghair mahdhah).[17] Hukuman duniawi lainnya dapat dipahami secara mafhum mukhalafah dari ayat dalam pembicaraan konteks imbalan tadi.   Di sana disebutkan bahwa orang yang peduli terhadap kemiskinan akan mendapat jaminan terhindar dari hidup yang penuh kegelisahan. Berarti, sebaliknya, orang yang tidak peduli akan terjerumus pada lingkaran kegelisahan dalam hidupnya. Kondisi hidup di mana semua keberhasilan pun tidak memiliki efek positif bagi yang meraihnya, apalagi bagi orang yang tidak meraihnya. Adapun sanksi ukhrawi bagi yang tidak peduli terhadap kemiskinan dijelaskan al-Qur’an bahwa dia akan memperoleh berbagai macam siksa di neraka. Jahannam, Saqar, dan Jahim telah menunggunya. Ketika dia memasukinya, dia akan dibelit dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta, tidak ada seorang teman pun baginya, tidak ada makanan kecuali dari nanah dan darah.[18]

2. Tanggung jawab  dan jaminan sosial berlapis
            Al-Qur’an tidak mencukupkan diri hanya sebatas bicara motivasi. Secara lebih kongkrit al-Qur’an memberikan arahan dan penjelasan dalam tataran aplikasi  dengan membicarakan tanggung jawab dan jaminan sosial. Umat memiliki tanggung jawab sosial terhadap orang-orang miskin, dan orang-orang miskin berhak mendapat jaminan sosial dari umat. Yang menarik, pembicaraan kemiskinaan dalam konteks ini sangat dominan. Sepertinya ini mengindikasikan bahwa problem kemiskinan memerlukan lebih banyak aksi kongkrit daripada berkutat pada tataran teoritis. Al-Qur’an menerapkan jaring pengaman berlapis dalam mengurai kemiskinan. Ada dua segmen tanggung jawab umat yang sekaligus menjadi jaminan bagi orang-orang miskin, yakni segmen etika dan segmen sarana.
            Dalam segmen etika antara lain al-Qur’an mengajarkan:
a. Untuk tidak menghardik orang miskin,[19] sebaliknya berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik.[20]
b. Untuk berlaku baik kepada mereka dan tidak sombong. Sombong dalam arti tidak peduli terhadap mereka, mengajak orang untuk tidak peduli, dan menyembunyikan karunia Allah yang diberikan.[21]
c. Untuk memberikan hak mereka dan tidak berlaku boros.[22]
d. Untuk memaafkan dan berlapang dada terhadap kesalahan orang miskin. Jangan sampai kesalahan itu menghalangi untuk peduli kepada mereka.[23]
e. Untuk memberikan bantuan dengan barang yang layak dan pantas. Sebaliknya tidak boleh memberikan barang yang buruk yang sudah tidak diminati.[24]
f. Untuk memenuhi hak biologis orang miskin dengan berupaya menikahkan mereka.[25]
 Dari beberapa ajaran di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an ingin melindungi orang miskin dari perlakuan diskriminatif. Kondisi miskin memang menyebabkan mereka rentan menjadi korban diskriminasi dan ketidakadilan. Oleh sebab itu al-Qur’an mengajarkan umat manusia beberapa etika yang wajib dipenuhi ketika berinteraksi dengan orang miskin, baik dalam konteks kehidupan sosial maupun dalam konteks mengatasi problem mereka, baik yang dilakukan oleh masyarakat sebagai individu atau kelompok maupun oleh pemerintah.  Al-Qur’an paling tidak mengajarkan tiga hal: Pertama, orang miskin wajib diperlakukan dengan baik. Artinya umat manusia bertanggung jawab untuk memperlakukan mereka secara baik, dan mereka berhak mendapat jaminan perlakuan baik dari umat manusia. Baik masyarakat dalam konteks sosial maupun pemerintah dalam konteks pelayanan, sama-sama wajib memperlakukan orang miskin secara baik. Perlakuan yang tidak baik seperti bentakkan, kata-kata kotor, kata-kata merendahkan, pelayanan yang sekedarnya, menunda-nunda pelayanan, semuanya sudah cukup dianggap mencidrai tanggung jawab dan jaminan sosial. Bahkan perlakuan baik itu harus tetap dijunjung meskipun orang miskinnya pernah berbuat salah, jika kemudian dia bertaubat. Allah menegur Abu Bakar ra ketika beliau bersumpah akan menghentikan bantuan terhadap Misthah bin Utsatsah, salah satu kerabatnya yang miskin, karena terlibat dalam peristiwa al-ifk.[26] Allah memerintahkan Abu Bakar ra untuk memaafkan kerabatnya itu dan Allah juga menjanjikan ampunan atas pemberian maaf itu. Dan memang Abu Bakar ra, meskipun tidak terkira sakit hatinya karena peristiwa tadi, memaafkan dan kembali memberi bantuan kepada Misthah.[27] Betapa tinggi ajaran al-Quran, ia mengajarkan manusia untuk bersabar terhadap kesalahan-kesalahan orang yang kita santuni. Jangan sampai kesalahan-kesalahan itu menghalangi untuk menyantuni mereka.    
Kedua, orang miskin wajib mendapat solidaritas dengan menjauhi pola hidup yang kontras dengan kondisi kemiskinan. Dalam hal ini al-Qur’an melarang prilaku hidup boros dan sombong. Sombong di sini tidak sekedar perbuatan hati atau refleksi sikap, tapi sombong yang dimaksud tercermin dalam sikap tidak ambil bagian dalam aksi peduli, melakukan propaganda untuk tidak melakukan aksi serupa, menyembunyikan kekayaan. Dalam hal ini al-Qur’an berhasil membongkar prilaku manusia yang mencidrai tanggung jawab sosial mereka. Ketika mereka melakukan pola konsumsi yang berlebihan, atau tidak ambil bagian dalam aksi peduli kemiskinan, atau melakukan upaya agar orang lain tidak peduli, atau menyembunyikan kekayaan, itu semua sudah cukup dikategorikan mencidrai tanggung jawab tadi. Dalam konteks indonesia ajaran al-Qur’an ini sangat menohok prilaku elit yang berlomba dalam melengkapi diri dengan aksesoris yang mewah. Begitu juga prilaku elit yang berupaya memanipulasi kekayaan dengan bekerja sama dengan pihak-pihak berwenang yang bersangkutan, sehingga terhindar dari beberapa kewajiban yang harus ditunaikan . Kedua model prilaku elit itu sudah cukup memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap proses pembangunan negara yang adil dan makmur. Maha Benar Allah dengan petunjuk-petunjuk-Nya.
Ketiga, orang miskin harus mendapat bantuan yang layak dan mencukupi.  Al-Qur’an juga memberikan perhatian terhadap sosok kongkrit bantuan yang diberikan kepada orang miskin, jika bantuan itu berupa barang. Barang yang diberikan harus berupa barang yang masih bernilai, bukan barang sisa yang tidak bernilai. Pemberian barang sisa yang tidak bernilai hanya akan menyakitkan orang yang diberi. Ini mungkin cukup untuk konteks bantuan dari individu. Tapi, dalam konteks bantuan pemerintah ukuran layak saja belum cukup. Di samping layak, bantuan itu harus mencukupi. Bukan bantuan sekedarnya  yang bukan saja tidak mencukupi, tapi juga menimbulkan bahaya dan kematian. Inilah yang terjadi dalam bantuan-bantuan pemerintah. Bantuan terkesan asal-asalan dan tanpa pengaturan sehingga seringkali menyakitkan dan mematikan orang miskin.
Dalam konteks pelayanan pemerintah yang layak dan mencukupi, teladan Umar bin Khattab patut dihayati dan diikuti. Suatu saat Umar mendapat pengaduan seorang wanita miskin bahwa dia tidak mendapat bagian zakat dari  Muhammad bin Maslamah sebagai petugas yang dikirim khalifah . Spontan Umar memanggil petugas tersebut dan berkata: “bagaimana engkau menjawab jika Allah bertanya tentang hal ini di hadapan-Nya?” Kemudian Umar menasehatinya dan kemudian berpesan: “jika aku kembali menugaskanmu, maka tunaikanlah hak wanita ini untuk tahun sekarang dan tahun yang sebelumnya”. Kemudian Umar memberi wanita itu seekor unta yang dibebani tepung dan minyak sambil berpesan agar dia datang ke khaibar. Ketika dia datang ke khaibar, Umar kembali memberinya dua ekor unta sambil berpesan bahwa pemberian itu kiranya cukup untuk bekal hidupnya sampai Muhammad bin Maslamah datang kembali untuk memberikan haknya untuk tahun ini dan tahun sebelumnya.[28]
            Segmen yang kedua dari tanggung jawab dan jaminan sosial adalah sarana-sarana yang diajarkan dan diatur al-Qur’an dalam menghadapi problem kemiskinan. Al-Qur’an telah menjelaskan beberapa sarana untuk mengatasi problem kemiskinan yang secara garis besar bisa dibagi menjadi sarana berstatus fardh/mafrudhah dan sarana yang berstatus tathawwu’ . Yang fardh terdiri dari 6 macam, yaitu zakat,[29] kifarat (denda), fidyah (tebusan), nadzar,[30] zakat fitrah,[31] dan udhhiyah/hady.[32] Sarana kifarat atau denda terbagi lagi menjadi lima macam, yaitu denda sumpah,[33] denda zhihar,[34] denda haji tamattu’,[35] denda membunuh hewan buruan bagi yang melakukan haji,[36] dan denda berhubungan suami istri pada siang hari bulan Ramadhan.[37] Sarana fidyah atau tebusan ada dua macam, yaitu tebusan karena tinggal ibadah puasa[38] dan tebusan bercukur dalam ibadah haji.[39] Adapun sarana yang berstatus tathawwu’ atau sukarela terdiri dari tiga macam shadaqah (sumbangan sukarela),[40] hibbah (pemberian hadiah),[41] kafalah (tanggungan) pihak keluarga yang mampu.[42]  

3. Sistem ekonomi yang adil
            Pemerataan dalam distribusi kekayaan merupakan salah satu tema pembicaraan kemiskinan dalam al-Qur’an. Kekayaan tidak boleh menumpuk pada segelintir orang kaya saja. Tapi kekayaan harus terdistribusi kepada masyarakat.[43] Dalam konteks ini Sayyid Quthb berpendapat bahwa Islam mengakui kepemilikan pribadi (al-milkiyyah al-fardhiyyah) secara terbatas tidak secara mutlak. Kepemilikan pribadi dibatasi dengan pemerataan distribusi. Tidak seperti kapitalisme yang memberikan hak kepemilikan kepada individu yang kuat secara penuh.[44]  Akibatnya kapitalisme  gagal mewujudkan efisiensi dan pemerataan yang pada gilirannya menjadi sumber krisis, tidak saja ekonomi tapi juga kemanusiaan.[45]   Distribusi kekayaan meliputi dua jenis kekayaan, primer dan sekunder. Distribusi kekayaan primer adalah distribusi sumber-sumber produksi yang meliputi tanah, bahan-bahan mentah, dan alat-alat atau mesin. Sedangkan distribusi kekayaan sekunder adalah distribusi komoditas yang merupakan hasil dari proses kombinasi sumber-sumber produksi yang dilakukan manusia melalui kerja. Kapitalisme menyebabkan kesenjangan dalam dua tingkat distribusi ini. Untuk konteks Indonesia kondisinya sudah sangat parah, sehingga Joseph Stiglitz, peraih nobel bidang ekonomi tahun 2001, menyarankan agara pemerintah Indonesia mereformasi kontrak-kontrak pertambangan dengan negara-negara kapitalis. Menurutnya Indonesia sangat dirugikan dengan kontrak-kontrak tersebut.[46] Pandangan Stiglitz diperkuat oleh data Harian Kompas baru-baru ini  yang mensoroti ketidakadilan dalam kontrak PT. Freeport di mana Pemerintah Indonesia hanya mendapatkan pembagian royalti  1 persen saja. Padahal setiap hari PT. Freeport menghasilkan 300 kilogram emas dan 600 kilogram mineral berharga perak. Menurut Harian ini royalti tersebut lebih buruk daripada tanam paksa Hindia Belanda.[47]  Fakta ini jelas-jelas menuntut transparansi kontrak-kontrak lain untuk mengetahui potensi kerugian negara, yang justru seharusnya menjadi modal untuk pengentasan kemiskinan.
Demikian pentingnya pemerataan distribusi dalam mengatasi problem kemiskinan, al-Qur’an menyebutkannya secara langsung ketika bersinggungan dengan terma kemiskinan. Seolah-olah al-Qur’an ingin mengatakan bahwa faktor terpenting yang meneyebabkan kemiskinan adalah ketidakadilan dalam distribusi kekayaan. Berkenaan dengan keadilan dalam konteks ini dan konteks berikutnya, penegakkan hukum, Ibnu Taimiyyah menegaskan peranan negara dan implikasinya. Beliau berkata:
            Allah menyukai negara adil meskipun kafir, tetapi tidak menyukai negara tidak adil meskipun beriman, dan dunia akan dapat bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman, tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam.”[48]

4. Penegakkan hukum
            Penegakkan hukum merupakan salah satu tema al-Qur’an dalam membahas kemiskinan. Al-Qur’an memerintahkan orang beriman agar hukum ditegakkan secara adil terhadap semua orang. Tidak boleh ada diskriminasi, baik karena kepentingan pribadi dan kekerabatan, maupun karena status miskin atau kaya. Al-Qur’an memperingatkan secara khusus untuk tidak mengikuti kecenderungan-kecenderungan pribadi yang akan menghalangi penegakkan hukum secara adil. Jika itu tidak diindahkan al-Qur’an mengancam bahwa Allah sungguh Maha Tahu atas prilaku ketidakadilan.[49] Petunjuk al-Qur’an ini mendapat momentum yang tepat dalam konteks  Indonesia. Kejahatan-kejahatan yang merugikan keuangan negara dipertontonkan dengan sangat jelas dan belum ditangani secara serius. Para elit  dengan bebas mempermainkan hukum karena bekal kekayaan mereka. Sementara itu kesalahan orang miskin yang sangat sepele  cepat sekali mendapatkan penanganan, atau sama sekali tidak ditangani karena tidak ada kekuatan uang, atau ditangani secara tidak adil jika masalah orang miskin itu berkaitan dengan orang kaya. Fakta riil tersebut menjadi bukti tidak terbantahkan mengenai kaitan erat penegakkan hukum dan problem kemiskinan. Hemat penulis, penegakkan hukum secara adil memiliki dampak positif dalam kerangka mengatasi problem kemiskinan. Tentu sebaliknya hukum yang tidak tegak dan tidak adil berdampak negatif terhadap pengentasan kemiskinan.

  5. Kemiskinan dan prilaku negatif
            Kemiskinan rawan memunculkan prilaku negatif. Oleh sebab itu al-Qur’an juga memberikan perhatian, dalam pembicaraannya tentang kemiskinan, terhadap prilaku negatif yang ditimbulkan oleh kemiskinan. Dalam hal ini al-Qur’an mendobrak kebiasaan keji orang arab yakni membunuh anak perempuan karena mengkhawatirkan kemiskinan.[50] Al-Qur’an mengkategorikan perbuatan itu sebagai perbuatan haram yang berat dengan posisi ketiga di bawah perbuatan syirik dan menyakiti orang tua. Al-Qur’an memberikan solusi dengan menawarkan reformasi pandangan tentang rizki dan cara berpikir. Menurutnya mereka yang melakukan perbuatan keji tadi harus menyadari dan meyakini sisi spiritual tentang kehidupan bahwa Allah penjamin rizki, di samping memang Dia juga mewajibkan manusia untuk berusaha maksimal. Untuk mengatasi prilaku tadi al-Qur’an juga menuntut mereka yang terlibat untuk berpikir rasional dalam memahami wasiat Allah tentang larangan dan keharaman perbuatan itu.[51]
            Ada yang menarik dan sangat penting diperhatikan dalam ungkapan al-Qur’an yang singkat mengenai topik di atas. Al-Qur’an mengatakan:”Janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin”. Ungkapan itu jelas bukan langsung menunjuk kemiskinan sebagai sebab, tapi ia  menunjuk ‘mental takut miskin’. Artinya  al-Qur’an sudah jauh meneropong bahwa tidak saja kemiskinan yang bisa memunculkan prilaku negatif, tapi mental takut miskin pun dapat menyebabkan prilaku serupa.  Boleh jadi seseorang tidak termasuk kategori miskin, tapi karena mental takut miskinnya dia melakukan prilaku-prilaku negatif, yang tidak saja merugikan dirinya sendiri tapi juga orang lain. Dalam konteks inilah kita melihat prilaku korupsi, sogok menyogok, kolusi, nepotisme, dan lain-lain yang begitu akut di negri ini dilakukan bukan oleh orang-orang miskin, tapi dilakukan oleh kelompok elit yang nota bene berpendidikan, berkecukupan, dan berkedudukan. Penulis kira mental takut miskin atau takut dicap miskin, tidak gaul, konservatif, dan yang semacamnya  melatarbelakangi keserakahan mereka, yang tidak saja merugikan bagi dirinya tapi juga bagi masyarakat banyak.  Maka dua solusi al-Qur’an tadi patut dipertimbangkan dan dicanangkan dalam upaya pemberantasan prilaku-prilaku keji tadi.

D. Kesimpulan
            Memperhatikan pemaran di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
1. Kemiskinan dalam pandangan al-Qur’an lebih dominan bersifat struktural dari pada kultural. Artinya kemiskinan lebih disebabkan karena sistem struktur sosial dan politik.
2. Karena kemiskinan lebih dominan bersifat struktural, al-Qur’an memberikan solusi multidimensi dalam rangka mengatasinya. Al-Qur’an membangun motivasi kepedulian sosial, meniscayakan tanggung jawab dan jaminan sosial baik dalam sisi etika maupun dalam sisi sarana aplikasi peduli sosial,  meniscayakan distribusi kekayaan yang adil, meniscayakan penegakkan hukum, dan memperingatkan prilaku negatif akibat kemiskinan dan mental takut miskin.
3. Pembahasan al-Qur’an yang berkaitan dengan terma-terma kemiskinan lebih dominan diketengahkan dalam konteks tanggung jawab dan jaminan sosial. Ini menjadi indikasi perlunya kesadaran kolektif yang solid dan kreatif dalam mengatasi kemiskinan.
4. Solusi Qur’ani tadi menjadi harapan sebagai solusi alternatif di saat kapitalisme mengalami kegagalan dalam mengatasi kemiskinan.  

















[2] Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010, hlm. 1-2.
[3] Dendy Sugono dkk. , Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 404, 1032.  Pengertian  ini sejalan dengan Ibnu Manzhur. Lihat Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab Jilid V, (tk. :Dar al-Ma’arif, tt.), hlm. 3444. 
[4] M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 449. Lihat pula ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), hlm. 429.
[5] ‘Abd al-Salam Hamdan dan Mahmud Hasyim, ‘Ilaj al-Musykilah al-Faqr: Dirasah Qur’aniyyah Maudhu’iyyah, dalam Silsilah al-Dirasah al-Islamiyyah, Vol. XVII, N0. I, 2009, hlm. 320.
[6] Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab Jilid V, (tk. :Dar al-Ma’arif, tt.), hlm. 3444. 
[7] Lihat Yusuf al-Qardhawi, Daur al-Zakah fi ‘Ilaj al-Musykilat al-Iqtishadiyah wa Syuruth Najahiha, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2001), hlm. 21-22, dengan modifikasi penulis.
[8] Lihat lebih jauh dalam Hamd bin ‘Abd al-Rahman, Dirasah li al-Fikr al-Iqtishad ‘Ind Ahmad bin ‘Ali al-Dulji, (Riyadh: Dar al-Ma’adz, 1993).
[9] Lihat M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an..hlm. 449-450. Walaupun secara terpisah menyebutkan kemiskinan struktural, namun dalam pembahasan sebab-sebab kemiskinan Pak Quraiys hanya menyalahkan sikap kaum miskin saja.
[10] Lihat ayat-ayat berikut: QS. 02:184, 68:24, 57:4, 76:8, 90:16, 69:34, 89:18, 107:3, 17:26, 30:38, 74:44, 05:89, 05:95, 18:79, 04:8, 02:215, 08:41, 59:7, 02:83, 04:36, 09:60, 02:177, 24:22, 02:61, 03:112.
[11] Lihat ayat-ayat berikut: QS. 02:268, 03:181, 28:24, 04:6, 04:135, 22:28, 24:32, 02:271, 02: 273, 35:15, 47:38, 09:60,  59:8.
[12] Lihat ayat-ayat berikut: QS. 06:151, 17:31, 51:19, 70:25.
[13] Lihat ayat-ayat berikut: QS. 02:177, 51:19, 70:25, 93:10.
[14] Lihat ayat-ayat berikut: QS. 22:36, 22:28.
[15] Yang dimaksud amal-amal lain itu adalah: istiqamah dan disiplin mendirikan shalat, takut terhadap siksa Allah, meyakini hari akhirat, menjaga kemaluan, menunaikan amanah dan janji, memenuhi persaksian dengan jujur, shalat malam, istighfar, dan berbuat baik. Lihat QS. 51:15-19, 70:19-35.
[16] QS. 02:177, 30:38, 51:15-19, 70: 19-35.
[17] QS. 107:1-3.
[18] QS. 69: 25-34, 74:41-44, 89:17-23.
[19] QS. 93:10.
[20] QS. 04:8.
[21] QS. 04:36-37.
[22] QS. 17:26-27.
[23] QS. 24:22.
[24] QS. 02:267.
[25] QS. 24:32.
[26] Peristiwa al-ifk adalah peristiwa munculnya berita bohong yang menuduh Sayyidah ‘Aisyah berbuat serong. Maka kemudian turun ayat al-Qur’an yang menjamin terpeliharanya ‘Aisyah dari tuduhan itu dalam awal surat al-Nur. 
[27] Lihat kisah ini dalam QS. 24: 11-26.
[28] Yusuf al-Qardhawi, Daur al-Zakah.., hlm. 35-36.
[29] Zakat sebagai ibadah yang berdimensi sosial memiliki tempat yang istimewa setelah ibadah shalat. Oleh karena itu penyebutannya dalam al-Qur’an hampir selalu bergandengan dengan penyebutan shalat.  Diwajibkan pada tahun kedua Hijrah. Penyebutan zakat sebagai solusi penting bagi problem kemiskinan di antaranya dituangkan dalam QS. 9:60.
[30] QS. 2:270.
[31] Lihat hadits Imam al-Hakim tentang fungsi zakat fitrah sebagai pembersih jiwa orang yang berpuasa dan sebagai bekal makanan bagi orang miskin, dalam al-Mustadrak nomor 1488.
[32] QS. 22:28 dan 36.
[33] QS. 5:89.
[34] QS. 58:3-4.
[35] QS. 2:196.
[36] QS. 5:95.
[37] Lihat hadits riwayat al-Bukhari tentang denda suami istri yang melakukan hubungan badan di siang hari Ramadhan. Lihat hadits al-Bukhari dalam Kitab Nafaqat, Bab Nafaqat al-Mu’sir ‘ala Ahlih, hadits nomor 5368.
[38] QS. 2:184.
[39] QS. 2:196.
[40] Ada banyak ayat tentang shadaqah di antaranya: QS. 2:148, 9:104, 57:18.
[41] QS. 4:4.
[42] Ada banyak ayat yang berbicara tentang kafalah, di antaranya QS. 2:215, 30:38.
[43] QS. 59:7.
[44] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an Jilid VI, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2004), hlm.
[45] Lihat Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin Basri, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 201-202.
[46] Joseph Stiglitz, “Indonesia Needs a New Agenda Like Landreform”, AsiaViews, No. 30, Tahun  IV,   (Agustus 2007). Lihat juga Joseph Stiglitz, “Indonesia Needs a New Agenda Like Landreform”, Tempo, N0. 51, (Agustus VII 2007).
[47] Iwan Santosa, “Ketimpangan RI-AS di Timika”, Kompas, 132, XLVI (11 November 2010), hlm. 10, kolom 1-5.
[48] Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi., hlm. 212.
[49] QS. 04:135.
[50] Menurut Fakhruddin al-Razi pembunuhan yang dilakukan orang arab waktu itu dilatarbelakangi dua sebab yaitu gengsi dan khawatir miskin. Namun sebab yang kedualah yang dominan menjadi faktor pemicu.  Lihat Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib Jilid XIII, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 245.  Mengenai faktor yang pertama, yaitu faktor gengsi, al-Qur’an juga mencatatnya dalam QS.  16:58-59.
[51] QS. 06:151, 17: 31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar